Aminah menahan sakit yang menghempap dadanya, seolah menular di seluruh kepalanya. Diurut-urut tengkuk dan lehernya perlahan, konon untuk mengurangkan sakit yang ditanggung. Ada titis keringat yang jatuh, bukti Aminah sedang manahan sakit. Ini bukan kali pertama Aminah diserang sakit yang sebegini rupa. Ini entah kali keberapa. Aminah pun tidak pasti.
Tapi yang pasti sakit ini Aminah mahu tanggung sendiri. Jangan sampai ayah dan ibu dapat menghidu bau kerut di dahi yang Aminah cuba sorokkan dari mereka saban hari. Mengenang ayah ibu, mudah sahaja mata gadis itu berkaca, bergenang menahan air hangat itu turun membasahi pipi. Walau sakit itu bisa ditutup dengan senyum ceria, kekesalan pada ayah dan ibu tidak pernah putus dalam gambaran hati Aminah. Hanya air mata mampu bercerita.
Entahlah. Aminah sendiri tidak mampu menceritakan dengan rinci. Sahihnya, Aminah merasakan terlalu banyak kesusahan yang telah dia bawa dalam rumah ini. Lama Aminah bermenung, mengenang nasib. Tiba-tiba pandangannya jadi balam. Dunia seakan berputar laju, yang Aminah lihat hanya wajah ayah dan ibu. Di mulut terkumat-kamit pohon ampun, berselang-seli dengan syahadat memberi kesaksian pada Tuhan dan Rasul. Hatinya yakin, ini saat kematianku! Gelap. Lampu neon pun bakalan tidak mampu menerangi liang itu.
Di dimensi yang lain, ada seorang tua mengucup dahi mayat itu. Air matanya laju, hatinya sepi dan pilu. Dalam esak si tua berbicara, "Ibu sudah lama memaafkanmu. Dia juga menerima taubatmu, nak."
Selagi belum mati, pintu maghfirat tidak pernah tertutup. Bawalah gugusan kunci untuk kau buka pintu itu.